Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Pemburu Jadi Pengasuh

Kompas.com - 28/09/2012, 12:59 WIB
Kontributor Manado, Ronny Adolof Buol

Penulis

MANADO, KOMPAS.com — Karamoy Maramis (69) sudah beranjak dari pembaringan ketika mentari belum muncul. Di pagi yang gelap dan dingin, dirinya  bersiap menuju hutan yang tepat berada di belakang tempat tinggalnya, sebuah Pos Penjaga Hutan milik Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNWB) yang dijadikan basecamp Maleo Project WCS IP di Tambun, Dumoga, Kabupaten Bolaang Mongondow.

Setiap hari, dua kali Karamoy harus mengitari area seluas 2,6 hektar yang sudah dipagari. Dia diberi tugas oleh Wildlife Conservation Society Indonesia Program (WCS IP) Maleo Project sebagai pengawas aktivitas spesies Macrocephalon maleo, unggas endemik Sulawesi.

"Saya harus berjalan pelan-pelan. Takut mengusik kehadiran maleo yang akan datang bertelur. Mereka liar dan takut akan kehadiran manusia. Jika tahu ada orang, mereka enggan bertelur," ujar Karamoy sambil mengendap-endap di antara rimbunnya tanaman, Jumat (28/9/2012) subuh .

Maleo yang ada di Tambun merupakan spesies yang terancam populasinya. Dari literatur yang diterbitkan beberapa tahun lalu, populasi Macrocephalon maleo di alam bebas tinggal sekitar 4.000 ekor. Oleh karenanya, maleo dilindungi oleh undang undang konservasi.

"WCS IP memiliki empat site konservasi maleo. Di samping di Tambun, ada pula di Pusian dan Binerean yang masuk wilayan Bolaang Mongondow. Lalu ada satu site di Gorontalo, site Hungayono. Semuanya masuk dalam area TNBNW," ujar Iwan Honuwu yang menjadi Manager Maleo Project WCS IP.

Karamoy direkrut WCS IP sejak 2001 ketika Maleo Project mulai berjalan. "Dulu kerja saya mengambil telur-telur Maleo yang ada disini, lalu menjualnya di pasar," cerita Karamoy.

WCS IP melakukan pendekatan yang cukup lama untuk mengubah perilaku Karamoy bersama teman-temannya, dari pemburu telur maleo menjadi penjaga burung yang terancam punah itu. Kini Karamoy yang mantan preman di kampungnya ini menjadi pengasuh maleo. "Ya, saya sudah seperti pengasuh mereka. Setiap mendapati telur Maleo, saya harus memindahkannya di tempat penetasan (hatchery), menimbunnya kembali, lalu memonitor sampai telur itu menetas, dan melepas anak maleo yang baru keluar dari lubangnya ke alam bebas," ujar Karamoy penuh semangat.

Cara bertelur maleo yang unik membuat telurnya rentan dari predator. Jika ingin bertelur, maleo menggali lubang di tanah atau pasir dan menimbun telurnya di dalam lubang tersebut, lalu meninggalkan begitu saja telurnya. Jika sudah menetas, anak maleo akan menggali sendiri lubang tersebut hingga mencapai permukaan tanah, lalu terbang sendiri, tanpa asuhan dari induknya.

"Cara bertelur seperti itu membuat tingkat survival anak maleo rentan. Predator seperti tikus, semut, dan biawak menjadi musuh mereka. Salah satu tugas Karamoy adalah memindahkan telur-telur tersebut ke hatchery agar aman," jelas Iwan. Di hatcehry, telur maleo aman karena dilindungi dengan pagar dan atap.

Kesetiaan Karamoy yang sudah 11 tahun menjadi pengasuh maleo telah banyak diapresiasi orang. Pada 2006, Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara memberinya Penghargaan Kalpataru kategori Penyelamat Lingkungan karena pengabdiannya menyelamatkan maleo bersama habitatnya. Begitu pula pada tahun 2010 Konsorsium Maleo mengganjarnya dengan The Maleo Award.

Di habitat maleo yang dijaganya, mantan preman ini telah menjadi narasumber berbagai pihak yang datang di hutan kecilnya untuk meneliti maleo. Berbagai media dunia pun pernah menyambangi Tambun dan menemuinya.

Karamoy bercerita, pada tahun 1950-an, ketika dirinya masih suka memburu telur maleo, dalam sehari dia bisa menjual hingga 30 telur. Perburuan telur maleo yang berukuran lebih besar dari telur angsa tersebut membuat populasinya terancam.

"Dulu tanah ini bisa menjadi hitam karena banyaknya maleo yang datang bertelur. Tetapi, kini berjumpa sepasang dalam satu hari pun sudah mujur," ungkap Karamoy.

Selama lebih dari 10 tahun Maleo Projectt WCS IP berjalan telah ribuan telur yang berhasil diselamatkan. "Saya punya catatan semua telur-telur yang ditemukan sejak 2001," ujar Karamoy sambil memperlihatkan buku catatannya.

WCS IP memberi tugas kepada Karamoy untuk mencatat semua hal yang berkaitan dengan aktivitas maleo yang dijumpainya setiap hari. Bersama istrinya tercinta, Karamoy dengan setia menjaga telur-telur maleo tersebut. Matanya selalu awas mengamati setiap lubang di tanah yang ditinggalkan maleo betina yang bertelur. Dia lebih dari seorang petugas pengamat maleo, tetapi sudah menjadi pengasuh yang setia agar burung khas Sulawesi itu tetap ada.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com