Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Rencana Aksi Nasional Tidak Lengkap

Kompas.com - 30/08/2012, 21:51 WIB
Brigitta Isworo Laksmi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com -- Indonesia belum memiliki strategi nasional untuk perubahan iklim. Rencana aksi nasional penurunan emisi gas rumah kaca tidak disertai sebuah strategi nasional yang jelas. Sementara itu Dewan Nasional Perubahan Iklim yang dibentuk pada tahun 2008 tidak bisa difungsikan untuk bernegosiasi dan melakukan konsultasi dengan kementerian sektor untuk penyesuaian kebijakan pembangunan dengan perubahan iklim.

Dalam paparan laporan tentang kesiapan pendanaan perubahan iklim yang diadakan The Nature Conservancy (TNC), Kamis (30/8/2012) di Jakarta, Penasihat Kebijakan Senior TNC Jorge Gastelumendi yang berkantor di AS didampingi oleh Penasihat Senior untuk Kebijakan Karbon Hutan Internasional TNC Wahjudi Wardojo, mengupas tentang proses kesiapan negara berkembang untuk menerima dana perubahan iklim dari negara-negara maju.

Dalam paparan Jorge terungkap bahwa dari setidaknya empat tahapan perencanaan untuk perubahan iklim, Indonesia baru memiliki kebijakan sebagai tahap awal dan aksi nasional sebagai tahap akhir.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009 di Pittsburgh telah menyatakan komitmennya untuk menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK), yaitu 26 persen atau sampai 41 persen jika ada bantuan dari luar pada tahun 2020 --dibandingkan dengan kondisi jika tak ada perubahan cara membangun (business as usual/BAU). Tahun 2011 terbit Peraturan Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK, yang telah diturunkan sampai tingkat daerah, yaitu RAD untuk Penurunan GRK. "Ini ibarat seseorang punya cucu namun cucunya tidak punya ayah," ujar Wahjudi.

Selain itu, Indonesia memiliki dua jalur dana perubahan iklim, yaitu Indonesia Climate Change Trust Fund di bawah Badan Perencana Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral di bawah Kementerian Keuangan. Menurut Wardojo kebijakan untuk pengarusutamaan pendanaan pembangunan yang sesuai dengan perubahan iklim masih dalam proses.

Jorge menyebutkan, Brasil dan Meksiko sebagai contoh. Dana perubahan iklim, menurut dia, dikelola oleh satu bank pembangunan nasional yang memiliki kewenangan besar dalam pengelolaan dana perubahan iklim. "Mereka mengelola dana itu dan sekaligus memonitor penggunaannya," kata Jorge. Kewenangan bank tersebut amat besar.

Dalam Konferensi Perubahan Iklim di Kopenhagen, Denmark, pada Conference on Parties (COP) ke-15, negara-negara maju menjanjikan pendanaan Rp 300 triliun (sekitar 30 miliar dollar AS) untuk 2010-2012 bagi mitigasi dan adaptasi, termasuk kehutanan. Jumlah itu akan bertambah menjadi 100 miliar dollar AS per tahun pada tahun 2020. Namun dana tersebut hingga sekarang belum ada realisasinya karena negara maju beralasan mereka mengalami krisis ekonomi.

Dalam realisasinya, negara maju tidak akan dengan mudah memberi dana perubahan iklim ke negara berkembang. Persyaratan yang diberikan akan sangat berat, termasuk soal kesiapan. Selain itu, yang menjadi perdebatan adalah asal-usul bantuan dana dari negara maju. Pihak negara berkembang menginginkan dana perubahan iklim harus berasal dari dana segar di luar dana bantuan pembangunan (Overseas Development Assistance/ODA).

Di sisi lain, negara maju  berusaha memberi dana perubahan iklim dengan mengambilnya dari jatah bantuan dana ODA. "Negara tersebut harus tahu apa yang mereka butuhkan, termasuk sumber daya yang mereka butuhkan, dan lain-lain," tambah Jorge. Bantuan tidak mesti berupa dana melainkan bisa berupa sumber daya.

 

Penulis: Brigitta Isworo Laksmi

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com