Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Getah Pohon dalam Kebesaran Sriwijaya

Kompas.com - 04/05/2012, 23:42 WIB

Judul  : Kemaharajaan Maritim Sriwijaya dan Perniagaan Dunia
ISBN  : 9789793731346
Penulis : O.W. Wolters
Cetakan : I, Oktober 2011
Penerbit : Komunitas Bambu
Halaman : 376
Harga  : Rp. 85.000,-

Sriwijaya merupakan kemaharajaan maritim luar biasa pada abad VII sampai dengan abad XIII. Akan tetapi, anehnya, pengetahuan tersebut baru tergali pada abad XIX. Hal ini sebagai akibat langsung diaplikasikannya ilmu sejarah kritis dalam upaya “merajut kembali” masa lalu yang raib. Tak ayal, sebiji ungkapan Ranke—sejarawan yang memberikan reaksi terhadap aliran Romantisisme—“wie es eigentlich gewessen” (history as actually happened), menjelma landasan ortodoksi sejarah.

Dalam memaparkan kroniknya, O.W. Wolters berusaha melakukan pembatasan yang tegas tanpa ampun. Objektivisme dan subjektivisme diposisikan selaku dua ufuk yang senantiasa dijauhkan antara satu dengan yang lain. Meskipun demikian, bagaimanapun juga, pendekatan ini masih bersifat selektif dan elitis. Hal ini merupakan sebagian dari hak prerogatif penulis guna menentukan mana peristiwa yang perlu disebutkan dan mana yang tidak.

Mulanya, Sriwijaya adalah kerajaan berbasis agraris. Demi mengubah status menjadi kerajaan maritim, ada empat tahap yang dilalui, yaitu: tahap pertama (683-750), Sriwijaya masih sangat kental dengan kegigihannya dalam bidang pertanian (agraris). Tahap kedua (750-1000), Sriwijaya mulai menampakkan diri selaku kerajaan maritim. Meskipun demikian, aktifitas agraris masih tetap dilaksanakan. Tahap ketiga (1000-1200), Sriwijaya genap menjadi kerajaan maritim internasional dengan kegiatan utamanya perniagaan. Pada masa inilah, Sriwijaya menggapai masa keemasan. Tahap keempat (sesudah 1200), Sriwijaya mengalami kemunduran drastis, dan pada tahun 1377 kerajaan ini dipecundangi oleh Majapahit.

Sriwijaya telah berhasil menunjukkan kedigdayaannya. Hal tersebut dilandasi oleh ketajaman visi kemaritiman serta kesadaran yang tinggi terhadap keunggulan strategis letak geografi wilayah bahari Nusantara. Kerajaan ini sanggup menjadikan perniagaan sebagai titian menggapai kebesaran. Hal ini dibuktikan dengan kunjungan seorang utusan Cina ke Sriwijaya pada tahun 683 M yang dapat dianggap sebagai pertanda bahwa hubungan resmi antara Cina dan kerajaan dagang itu telah dimulai. Setelah itu, beberapa delegasi pun mulai dikirimkan pada 702, 716, 728, dan 742 M (halaman 285).

Buku ini begitu menarik. Mengapa? Sebab, selain berkutat pada hal-ihwal Sriwijaya pada umumnya, penulis juga menyelipkan beberapa hal yang barangkali dinilai remeh oleh beberapa sejarawan, seperti kajian mengenai mur. Tepatnya pada halaman 125, dituturkan bahwa semasih zaman kuno, mur dikenal sebagai bdellium. Saking berkasiatnya, ia menggantikan guggulu sebagai obat pengasapan bermutu tinggi. Dalam hikayatnya, mur disebut oleh Hsu Piao selingkar tahun 500 M, dan seabad kemudian khasiat pengobatannya diketahui Chen Ch’uan.

Selain itu, penulis juga menyertakan sirih (chavica aurculata miq). Tanaman yang kaya dengan kandungan zat, di antaranya hidroksikavicol, allylpyrokatekol, caryophyllene, cadinene, serta berkhasiat merangsang syaraf pusat, merangsang daya pikir, dan meningkatkan gerakan peristaltik tersebut sangat cocok dikonsumsi di daerah iklim dan tropis Asia Tenggara.

Studi mendalam tentang Sriwijaya yang dilakukan O.W. Wolters akan sangat berguna bagi para akademisi, praktisi, maupun kaum penggandrung sejarah. Keintiman penulis dengan sejarah mengantarkan buku ini sanggup menghibahkan wawasan komprehensif mengenai kerajaan Sriwijaya serta gambaran awal perdagangan laut Nusantara yang berkecambah dan tumbuh pada abad III hingga abad VII.

Menggelitik memang, jika kesuksesan niaga maritim Sriwijaya yang masyhur di serata dunia itu bukan lantaran perdagangan rempah-rempah, melainkan karena beraneka ragam jenis getah pohon yang mengantongi rimbun manfaat dalam bidang medis. Sesuatu yang membedakan buku tebal ini dengan beragam referensi lain, yang selalu mengaitkan antara kejayaan Sriwijaya dengan perdagangan rempah-rempahnya.

Riza Multazam Luthfy
Menulis puisi, cerpen, dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Jawa Pos, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Kedaulatan Rakyat, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Sumut Pos, Padang Ekspres, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, majalah Sabili, Annida, Okezone.com, dan Kompas.com. Puisi-puisinya juga termaktub dalam antologi Karena Aku Tak Lahir dari Batu (2011) dan Kutukan Negeri Rantau (2011). Ia adalah ahlul ma’had Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program magister hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com