Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Masa Prasejarah, 70 Kilometer dari Jakarta

Kompas.com - 01/02/2012, 03:26 WIB

Bebatuan beragam ukuran dan bentuk tak seragam tersusun dalam pola tertentu di antara rimbun pohon dan kesejukan udara di kaki Gunung Salak. Ada batu yang sejajar tanah, ada yang tegak. Warga mengenalnya dengan beberapa nama seperti Arca Domas atau Situs Cibalay. Simbol peradaban megalitik dari masa 4.000 tahun silam.

Kompleks situs itu berada di Desa Tapos di Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tepatnya berada di lahan Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Jarak lokasi ini dari Jakarta lebih kurang 70 kilometer. Belum diketahui luas sesungguhnya situs itu, tetapi dilihat dari susunan batu yang sudah ditemukan dan dipelihara, setidaknya ada setengah hektar.

Kondisi situs peninggalan masa prasejarah itu masih belum banyak tersentuh masyarakat. Hanya ada tiga saung yang dibangun peziarah di sekitar kawasan itu. Pemerintah memasang kawat berduri di sekeliling kompleks utama. Di bagian paling atas, ada batu bersusun dengan tiga batu tegak yang dipasang dalam posisi miring. Dari sana ada susunan batu yang membentuk semacam selasar menuju ke susunan batu utama yang berbentuk segitiga.

”Ini merupakan kompleks megalitik dari masa prasejarah yang dulu digunakan untuk pemujaan leluhur,” tutur Inotji Hajatullah, budayawan Bogor saat ditemui di Situs Cibalay, Minggu (29/1).

Di masa lalu, masyarakat berupaya mendekati puncak gunung atau mencari tempat tinggi untuk pemujaan leluhur. Bagi Inotji, situs megalitik di Situs Cibalay masih relatif jauh dari tangan jahil sehingga bisa dipelajari fungsinya, dilihat dari susunan batu itu.

Dia memprotes penulisan papan nama situs itu yang disebut ”Situs Megalitik Arca Domas” oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jawa Barat. Padahal, di situs itu tak ditemukan arca atau prasasti. Malah, beberapa tahun lalu, beberapa budayawan Sunda melaporkan ke pihak berwajib soal adanya sekelompok orang yang mencoba membuat prasasti palsu yang ditempatkan di situs megalitik ini.

Inotji berharap nama situs itu dikembalikan seperti dalam catatan peneliti Belanda yang menyebutnya Situs Cibalay. Keberadaan situs ini pertama kali dilaporkan De Wilde tahun 1830, kemudian Junghuhn tahun 1844, lalu Muller 1856, dan NJ Krom tahun 1914.

Namun, eksplorasi terhadap kawasan ini belum sepenuhnya dilakukan. Dilihat dari temuan lain yang tersebar, seperti batu bergores yang berjarak 100 meter di atas kompleks itu dan patirtan, serta Bale Kambang (tempat bermusyawarah) yang berada di bawah kompleks, diperkirakan luasnya 3-5 hektar, melebihi perkiraan awal sekitar setengah hektar.

Menurut Kepala Seksi Pelestarian dan Pemanfaatan pada Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang Zakaria Kasimin, Situs Cibalay terbilang cukup besar, seperti yang berada di Lebak (Banten) dan di Gunung Padang (Cianjur). Dia menduga ketiga kompleks situs megalitik skala besar itu ada hubungannya. Situs Gunung Padang dinilai kawasan situs megalitik terluas di Asia Tenggara dengan luas areal mencapai 7 hektar. Namun, hal itu belum diteliti maksimal karena keterbatasan dana dan personel.

Dengan potensi yang besar itu, sayangnya tidak ada papan petunjuk atau kisah di balik situs. Kondisi tersebut membuat situs ini tidak lebih dari sekadar batu bersusun. (Antony Lee)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com