Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejak Krakatau Sebelum 1883

Kompas.com - 25/11/2011, 06:49 WIB

Oleh Ahmad Arif dan Indira Permanasari

KOMPAS.com - Pandangan mata awas memandang laut, menunggu saat gelombang menjauh. Hanya ada kesempatan beberapa detik, ditambah keberuntungan, agar tubuh tidak diterjang ombak yang terkadang tinggi hingga mencapai dinding tebing.

Kami harus berhitung sebelum menyeberang dengan merayapi tebing licin itu. Sekali dua kali keberuntungan menyertai. Namun, saat berada di satu cerukan, ombak besar tiba-tiba datang menerjang. Kami hanya bisa merapat ke dinding, memunggungi laut, dan menanti gelombang yang segera datang itu, sementara tangan erat berpegangan pada karang. Ombak yang datang seperti palu yang dihantamkan. Tubuh basah dan lelah.

Belum lepas dari lelah, tebing terjal tiba-tiba menghadang. Sebatang kayu berselimut lumut jadi satu-satunya jembatan dan di bawah, debur ombak mencipta jeri. Namun, tak ada pilihan lain selain terus melangkah.

Perjalanan mendebarkan itu kami lalui untuk mencari jejak kehidupan di kompleks Krakatau sebelum gunung ini meletus pada 27 Agustus 1883. Seperti dikisahkan ahli botani Inggris, Joseph Banks, yang mengunjungi Krakatau pada Januari 1771, pulau itu dulu diselimuti hutan lebat. "Kami membuang sauh di bawah pulau tinggi yang di kalangan pelaut disebut Cracatoa dan oleh orang India Pulo Racatta. Kami melihat banyak rumah dan pepohonan lebat."

Banks ke pulau itu bersama armada Inggris yang dipimpin Kapten James Cook dengan kapalnya, Resolution dan Discovery. Mereka dalam perjalanan mencari terra australis incognita (dunia selatan yang misterius). Seniman armada itu, John Webber, melukiskan Krakatau sebagai pulau yang dipenuhi pohon kelapa, rerumputan tinggi, pakis, dan hutan lebat dengan latar belakang gunung raksasa dengan dua puncak.

Jejak arang

Perjalanan kami mulai sejak pukul 07.30, 17 Agustus 2011. Awalnya kami pergi ke Pulau Sertung, sekitar 4 kilometer dari Pulau Rakata. Selain Rakata dan Anak Krakatau, Sertung dan Panjang merupakan bagian dari kompleks kepulauan Krakatau yang berada di dalam kaldera purba. Anak Krakatau berada di titik pusat.

Di tepi pantai Sertung yang sunyi, pagi itu, Tukirin Partomihardjo (59), ahli botani Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengajak kami sejenak berdiri dan mengibarkan bendera Merah Putih. Profesor yang telah 30 tahun meneliti di Krakatau ini memimpin upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia. Ia mengingatkan pentingnya memelihara Krakatau sebagai laboratorium alam dunia yang tidak ternilai.

Seusai upacara, kami mulai menyusuri hutan Sertung yang dipadati pohon melinjo. Sesekali bunyi riuh burung mencipta gaduh di hutan sepi. "Tanah di sini total tertutup abu sehingga cocok buat tanaman berbiji kecil, seperti melinjo," ujar Tukirin.

Halaman:
Baca tentang
    Video rekomendasi
    Video lainnya


    Video Pilihan Video Lainnya >

    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    komentar di artikel lainnya
    Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
    Close Ads
    Bagikan artikel ini melalui
    Oke
    Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com