Bengkulu, Kompas
Hal itu disampaikan Kepala Desa Pungguk Bedaro, Kecamatan Bingin Kuning, Kabupaten Lebong, Bengkulu, Suardi Tabrani, Rabu (23/11). ”Panen padi di Kabupaten Lebong hanya sekali dalam setahun. Setelah panen padi, selama 6-7 bulan sawah tidak digarap,” katanya.
Pada saat itulah, biasanya masyarakat mulai berpikir bagaimana mencari lahan garapan untuk memenuhi ekonomi keluarga. Di tengah sempitnya lahan budidaya di Kabupaten Lebong, kawasan lindung menjadi incaran perambahan untuk membuka kebun kopi, misalnya.
Di kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS), khususnya di Desa Pungguk Bedaro, pekan lalu, dijumpai kebun kopi milik warga yang sudah berbuah. Sejumlah pondok pun berdiri di kebun tersebut.
Karena itu, kata Suardi, akan lebih baik jika setelah panen padi pemerintah daerah memberikan bantuan benih palawija, seperti jagung atau kedelai. Atau, bahkan mungkin bibit ikan agar petani mulai membudidayakan ikan. Langkah itu diharapkan dapat mencegah masyarakat merambah hutan.
Akan tetapi, menurut Direktur Komunitas Konservasi Indonesia Warsi Bengkulu Nurkholis Sastro, bercocok tanam palawija hanya solusi jangka pendek. Akan lebih baik jika Balai TNKS dan pemerintah daerah menetapkan mekanisme pengelolaan bersama lahan kawasan TNKS yang sudah telanjur dirambah masyarakat. Perlu mekanisme yang memperhatikan aspek manfaat ekonomi bagi masyarakat dan ekologi.
Sementara itu, terkait tanaman pangan, sebagian petani di Kabupaten Kupang, Timor Tengah Selatan, dan Timor Tengah Utara, Nusa Tenggara Timur, sudah giat menanam jagung meski cuaca tidak menentu. Sebagian tanaman langsung menjadi puso begitu mulai berkecambah. Ketua Himpunan Kerukunan Tani dan Nelayan Nusa Tenggara Timur Mel Adoe di Kupang, Rabu, mengatakan, cuaca November-Desember membuat petani kesulitan menyesuaikan waktu tanam.