Jakarta, Kompas
Ini disinggung Menteri Riset dan Teknologi Gusti M Hatta dan Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Bambang Setiawan Tejasukmana dalam jumpa pers pada Seminar Nasional Kedirgantaraan 2011 di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Selasa (22/11).
Pesawat kecil dapat mendarat di berbagai daerah yang hanya memiliki tanah lapang berumput, termasuk daerah yang dilanda bencana. Pesawat ini dapat digunakan untuk suplai logistik dan pengamatan kerusakan. Adapun pesawat tanpa awak dapat dioperasikan di daerah berbahaya, seperti daerah yang dilanda kebakaran hutan.
Pengembangan pesawat kecil dan pesawat tanpa awak dilakukan dengan membentuk konsorsium yang terdiri dari Lapan serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk pembuatan desain prototipe dan pengujiannya serta PT Dirgantara Indonesia untuk fabrikasinya. Konsorsium dibentuk untuk pengembangan pesawat N-219.
Pada konsorsium ini jelas pembagian tugas masing-masing. Desain hingga pembuatan prototipe akan diambil alih lembaga riset penerbangan, dalam hal ini Lapan, yang kini memiliki Pusat Teknologi Penerbangan. Dengan demikian, PT Dirgantara Indonesia hanya melakukan produksi dan pemeliharaan.
Untuk menangani pengembangan teknologi penerbangan, pemerintah akan meningkatkan anggaran riset untuk Lapan pada tahun mendatang.
Sementara itu, pengembangan sistem peringatan bencana, ujar Bambang, dilakukan Lapan dengan menerapkan teknologi penginderaan jauh pada Sistem Informasi Mitigasi Bencana Alam (SIMBA), Indo FIRE, dan program ketahanan pangan.
Selain itu, sejak tahun 2010, Lapan juga membangun Sadewa (Satellite Disaster Early Warning System) untuk pemantauan serta prediksi banjir dan tanah longsor. Pengembangan dan penerapan sistem ini, lanjut Deputi Sains dan Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan Lapan Thomas Djamaluddin, dilakukan bekerja sama dengan BPPT, BMKG, dan pemerintah daerah.
Dengan Sadewa, kejadian banjir dapat diprediksi tiga jam sebelumnya.