Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Moratorium Remisi dan Neutrino

Kompas.com - 22/11/2011, 02:01 WIB

L Wilardjo

Belum lama ini kita menyaksikan komunitas politikawan di republik ini ramai bertikai. Duet Menteri dan Wakil Menteri Hukum dan HAM memberlakukan kebijakan moratorium remisi bagi terpidana kejahatan korupsi. Maka mereka pun dicerca dan dihujat politikawan Senayan dan ahli hukum.

Tuduhannya macam-macam. Pencitraan, cara berpikir kacau, ngawur, mengubah rechtstaat menjadi machtstaat, dan sebagainya, dan seterusnya, et cetera, ad nauceam. Denny Indrayana sebagai Wakil Menteri Hukum dan HAM bahkan diancam akan diadili oleh rezim berikutnya.

Yang mengecam bukan hanya tokoh parpol oposisi, melainkan juga mitra koalisi dan pentolan partai Demokrat. Denny tetap bergeming. Antikorupsi adalah jalan hidup pilihannya. Sejauh ini ia tidak mempermalukan pedepokan asalnya, Pukat UGM. Akan tetapi, keteguhan hati dan keberanian moralnya masih akan terus diuji ke depan.

Tanpa kecuali?

Para penghujat Denny menginginkan kepastian hukum positif. Kebijakan ad hoc—mau disebut ”moratorium” atau secara eufemistis dinamai ”pengetatan aturan remisi”—tidak boleh melanggar hukum yang berlaku. Mereka, lawan-lawan Denny itu, maunya menegakkan hukum secara rechtmatig, tidak secara doelmatig. Fiat justitia, ruat caelum. (Tegakkan hukum, walau langit runtuh)!

Para pengecam Denny itu seperti logikawan Bertrand Russell yang gandrung kepada kepastian dan benci setengah mati kepada kontradiksi dan inkonsistensi. Namun, logika ialah ilmu formal yang boleh membawa kita mengembara sebebas-bebasnya di alam pikiran, sedangkan ranah hukum ialah dunia nyata. Padahal, dalam ilmu ”real” dan di atas bumi ada ruang bagi sedikit perkecualian di sana-sini.

Imre Lakatos menolak vonis mati yang dijatuhkan Karl Popper pada teori yang terfalsifikasi. Jangan-jangan falsifikasinya naif. Bagaimana kalau ada faktor ”x” yang belum diperhitungkan? Karena itu, program penelitian keilmuan Lakatos dijaga dengan sabuk pelindung (protective belt). Kalau perlu, tambahkan saja sedikit perkecualian. Itulah yang disebut anomali.

Hukum alam yang ditetapkan Tuhan pun—demi maksud baik dan cerdas—diberi-Nya perkecualian, seperti anomali air (sekitar suhu 4 derajat celsius) pada hukum pemuaian benda karena pemanasan. Mengapa untuk pelanggaran HAM berat dan kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti terorisme dan megakorupsi, tidak boleh ada pengaturan khusus?!

Padahal, selama ini, lepas dari apakah dapat dibenarkan atau tidak, kita sudah menjalankan perlakuan dan peraturan khusus. Yogyakarta—paling tidak sampai sekarang—adalah daerah istimewa. NAD boleh memberlakukan hukum kanun berdasarkan syariat Islam dan di sana parpol lokal boleh menjadi kontestan dalam pilkada. Lalu Papua dijadikan daerah otonomi khusus dengan DAU dan DAK yang besar relatif terhadap jumlah penduduknya.

Halaman Berikutnya
Halaman:


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau