Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penyelundupan Trenggiling, Negara Rugi Rp 38,5 Miliar

Kompas.com - 17/10/2011, 22:25 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - Kementerian Kehutanan (Kemenhut) mencatat, negara setidaknya dirugikan sekitar Rp38,45 miliar karena penyelundupan trenggiling. Hal ini dikatakan Raffles Panjaitan, Direktur Penyidikan dan Pengamatan Hutan Kemenhut, dalam lokakarya "Pemberantasan Penyelundupan Trenggiling" di Jakarta, Senin (17/10/2011).

"Trenggiling itu binatang langka, sehingga tidak ada permitnya. Semua bentuk perdagangan trenggiling itu ilegal," kata Raffles. Menurut data Kemenhut, selama 5 tahun terakhir terjadi sebanyak 587 kasus, 35 di antaranya kasus penyelundupan trenggiling di beberapa propinsi seperti Jawa Timur, Sumatera Utara, Kalimantan Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Barat, Kalimantan Timur, Lampung dan Jakarta. "Total trenggiling yang diselundupkan mencapai 7.136 ekor atau setara dengan 37.140 kg daging dan 514,6 kg sisik," sambung Raffles.

Untuk tahun 2011 sendiri, per Oktober sudah ada 5 kasus penyelundupan di Cengkareng, Tanjung Priuk, dan Belawan. Negara diperkirakan rugi sampai Rp15,3 miliar. Tiga kasus itu sedang disidik dan dua di antaranya sudah masuk proses hukum. Dikatakan, trenggiling diburu untuk dimanfaatkan daging, sisik, empedu, dan hatinya.

Menurut kepercayaan masyarakat Cina, daging dan bagian tubuh tersebut dipercaya berkhasiat sebagai obat tradisional. Sementara itu, sisik trenggiling bisa dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik, sapu ijuk dan narkotika. Di pasar lokal, harga trenggiling berkisar Rp300-Rp400 ribu untuk berat 5-7 kg per ekor. Kemudian untuk sisik trenggiling bisa mencapai Rp 400 ribu per kg.

"Sedangkan di pasaran internasional, harga daging trenggiling mencapai 112 dolar AS per kg dan sisik trenggiling mencapai 400 dolar per kg," katanya.

Penyelundupan trenggiling umumnya dilakukan dengan menyalahgunakan dokumen dan mencampur daging trenggiling dalam peti kemas ikan. Trenggiling diketahui banyak diselundupkan ke China, Singapura, Thailand, Vietnam, Malaysia dan Laos. Jalur penyelundupan trenggiling, kata Raffles, paling sering lewat jalur laut (Kep Riau, Tembilahan, Batam ke Singapura, Malaysia) dan beberapa lewat jalur udara (Medan, Jakarta, Denpasar, Surabaya, dan Makassar).

"Lewat udara agak sulit karena penjagaan ketat, paling hanya perbatasan Kalimantan dan Malaysia," katanya.

Untuk mencegah penyelundupan hewan ini, Kemenhut akan memutus koneksi antara pengumpul dan pemodal. Namun di sisi lain, pintu ke luar negeri di bandara juga harus dijaga karena pengekspor suka membuat dokumen palsu. "Kami akan meningkatkan pengawasan dengan bea cukai karena saat membuka segel ada aturannya," katanya.

Pelaku memperoleh hewan itu dengan mengimingi masyarakat uang jika bisa menangkap trenggiling hidup. "Kalau diimingi uang Rp 200 ribu per ekor saja, mereka sudah tergiur karena mereka tidak tahu kalau trenggiling itu dilindungi," katanya.

Menurut Raffles, pelaku penyelundupan hewan diancam dengan pasal 21 ayat 2 UU No.5 tahun 1990 yang menyebutkan tiap orang dilarang untuk menangkap, melukai, membunuh, dan memperdagangkan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup atau mati dengan ancaman pidana kurungan 5 tahun dan denda Rp100 juta. Trenggiling merupakan jenis mamalia yang masuk dalam jenis satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Binatang ini hidup di hutan hujan tropis dataran rendah. Makanannya adalah serangga seperti rayap dan semut. Daerah habitat penyebaran trenggiling, antara lain di Riau, Kalimantan, dan Jawa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com