Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pembicaraan di Forum Internasional Masih Susah Sepakat

Kompas.com - 17/10/2011, 21:57 WIB
Lukas Adi Prasetya

Penulis

BALIKPAPAN, KOMPAS.com - Pembicaraan mengenai perubahan iklim di tingkat internasional, masih susah menemukan kesepakatan dalam banyak hal, karena masing-masing negara punya pendapat dan kepentingan berbeda.

Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan, atau disebut REDD+, yang paling bisa diterima banyak negara pun, masih dalam tahap merumuskan metodologi.

"Banyak konsep yang kami sampaikan dalam forum internasional  diterima baik. Misalnya, REDD+ harus mempertimbangkan aspek pengelolaan hutan lestari, karena berdampak pada ekonomi, sosial dan ekologi," ujar Doddy Sukadri, Ketua Kelompok Kerja Alih Guna Lahan dan Kehutanan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI), di sela-sela Workshop Satker DNPI, Senin (17/10/2011) di Balikpapan.

Tidak mudah menyamakan persepi dari 193 negara yang tergabung dalam United Nations of Frame Work Convention on Climate Change (UNFCCC) -badan PBB yang membidangi perubahan iklim- dalam sejumlah forum yang sudah digelar. Dari 193 negara, 40 di antaranya negara maju.

Menuju pada keinginan Indonesia dan negara berkembang yang memiliki banyak hutan yakni mendapat kompensasi dari REDD+, pun, masih jauh prosesnya. Saat ini, penentuan potensi karbon belum ditetapkan. Jangankan sampai ke tahap itu, definisi hutan pun masih menjadi perdebatan, khususnya antara negara maju dengan negara berkembang.  

Misalnya target reduksi emisi negara maju, tak pernah bisa mengerucut jadi kesepakatan bersama. Karena argumentasi ilmiah tercampur kepentingan ekonomi, negara maju sulit sepakat.

"Sebab mereka harus mengurangi sekian persen pertumbuhan ekonomi dan itu enggak mungkin," kata Doddy.

Definisi hutan pun ternyata tidak sama antarnegara. Satu contoh misalnya, tentang hutan konservasi. Banyak negara masih menganggap hutan konversi dan hutan lindung tak bisa masuk skema REDD+. Alasannya hutan konservasi tidak terancam deforestasi. Yang dihitung bisa masuk skema REDD+ adalah hutan-hutan yang teracam deforestasi.

"Ada juga pandangan bahwa hutan tanaman industry ( HTI) bukan hutan, karena asal mulanya diawali dari penebangan hutan. Namun bagaimana jika ada kawasan yang dulu tandus, lalu dijadikan dan sukses menjadi HTI. Dengan kata lain, itu vegetasi yang menyerap karbon," kata Doddy.

DNPI yang menjadi ujung tombak suara Indonesia di forum internasional untuk perubahan iklim, dihadapkan pada masalah yang cukup pelik.

Jangan sampai Indonesia yang justru negara pemilik hutan, kalah gertak di forum internasional. Namun, kata Doddy, Indonesia memilih cara negosiasi yang tidak frontal, agar lebih bisa mendapat perhatian.

Indonesia punya banyak potensi hutan yang terus diangkat dalam forum internasional. Misalnya Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) di Balikpapan, Kalimantan Timur, seluas 9.722 hektar. Hutan ini sudah diusulkan masuk ke skema REDD+.

Wali Kota Balikpapan, Rizal Effendi, pernah mengatakan, HLSW adalah aset yang bisa dijual , dalam arti Pemkot bisa mendapat kompensasi rupiah yang bisa disalurkan lagi untuk menjaga HLSW.

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com