Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Taman Nasional Ujung Kulon "Dibelah"

Kompas.com - 18/07/2011, 01:46 WIB

Pandeglang, Kompas - Taman Nasional Ujung Kulon di Provinsi Banten, dengan alasan konservasi badak jawa, ”dibelah” Kementerian Kehutanan. Pembabatan hutan untuk jalan dan pagar beraliran listrik—yang dimaksudkan sebagai ”kandang” alam badak jawa—itu dimulai 20 Juni 2011. Program tersebut diberi nama Javanese Rhino Sanctuary.

Pada dokumen analisis risiko lingkungan (ERA) Rencana Pembangunan Javanese Rhino Sanctuary (JRS) di TNUK (November 2010) dipaparkan, pemagaran berlistrik akan dilakukan di sisi timur (20 kilometer/km) dan sisi barat (2 km). Pemagaran di kedua sisi menempatkan JRS di tengah Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) dengan luasan 3.000-4.000 hektar, dibatasi laut di sisi utara dan selatan.

Saat dihubungi, Jumat (15/7), Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Darori mengungkapkan, program JRS untuk meningkatkan populasi badak. ”Izin saya keluarkan karena tujuan JRS baik,” katanya.

Pengadaan JRS, yang digarap bersama Yayasan Badak Indonesia, memudahkan peneliti mempelajari badak jawa (Rhinoceros sondaicus) endemik Jawa yang jumlahnya 50 ekor. WWF Indonesia menyebutkan, jumlah badak jawa di TNUK 29 ekor.

Di lokasi proyek di Desa Ujung Jaya, Sabtu lalu, Kompas melihat lahan hutan dibuka selebar sekitar 30 meter sepanjang 5 km dari Cilintang menuju Aermokla. Batang pohon dan tanaman perdu berserakan di tepi jalan tanah.

Di sejumlah titik, beberapa alat berat teronggok. Salah satu petugas proyek menyebutkan, mereka mencari jalur dengan tutupan pohon minim sehingga pembabatan pohon ditekan.

Rumah satwa langka

TNUK merupakan rumah bagi satwa langka, di antaranya badak jawa, owa jawa, banteng, macan kumbang, dan sejumlah burung. Sejumlah aktivis lingkungan mempertanyakan kebijakan Kementerian Kehutanan itu. Jalan inspeksi mempermudah perambahan taman nasional, sedangkan pagar berlistrik menghambat migrasi sejumlah satwa.

”Di taman nasional membunuh nyamuk saja dilarang, apalagi membongkar hutan dan menyetop pergerakan satwa di kawasan konservasi,” kata Grahat Nagara, Koordinator Kebijakan Tata Kelola Sumber Daya Alam Silvagama.

Sementara Marcellus Adi, dokter hewan yang 20 tahun terjun di konservasi Sumatran Rhino Sanctuary Waykambas, Lampung, menilai, pagar menghalangi fauna melarikan diri jika ada tsunami atau letusan Gunung Krakatau seperti tahun 1883.

Menurut Grahat, daerah JRS saat ini sebelumnya merupakan zona inti. Awal tahun 2011 diturunkan jadi zona rimba. (ICH)

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terpopuler

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau