Jakarta, Kompas -
”Dana yang dihasilkan dari pendapatan migas Norwegia yang didepositokan melalui The Government Pension Fund-Global (GPFG) ditanamkan ke lima grup usaha sawit. Grup usaha ini memiliki beberapa anak perusahaan yang beroperasi di perkebunan sawit di Kalimantan Tengah tanpa memiliki izin pelepasan kawasan hutan dan atau izin pemanfaatan kayu,” kata Elfian Effendi, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia di Jakarta, Kamis (3/3).
Menurut Elfian, GPFG merupakan dana yang dihasilkan dari pendapatan migas Norwegia yang didepositokan. Awalnya, dana tersebut bernama The Petroleum Fund of Norwegia, yang sejak Januari 2006 diubah menjadi GPFG. Walaupun disebut dana pensiun, dana tersebut sebenarnya bukan dana pensiun karena sumbernya berasal dari keuntungan migas, bukan kontribusi pensiun.
Sementara total dana GPFG yang ditanamkan di lima grup usaha itu diduga mencapai 183 juta dollar AS. ”Operasi 24 perusahaan yang berafiliasi pada lima grup bisnis sawit besar tersebut termasuk kategori melanggar peraturan perundang-undangan Indonesia,” kata Elfian.
Elfian menambahkan, sesuai semangat
Direktur Kampanye Walhi Teguh Surya juga meminta Pemerintah Norwegia menyusun strategi untuk keluar dari industri ekstraktif di Indonesia. Ia menemukan data, selain memiliki saham di sejumlah perusahaan sawit, Pemerintah Norwegia juga menanamkan saham di sejumlah perusahaan tambang di Indonesia. ”Jika enggan melakukannya, komitmen mereka untuk menyelamatkan bumi patut diragukan,” katanya.
Secara terpisah, Hege Karsti Ragnhildstveit, Counsellor for Forest and Climate Kedutaan Besar Norwegia di Jakarta, yang dikonfirmasi melalui surat elektronik, tidak memberikan jawaban atas kepemilikan saham Pemerintah Norwegia di sejumlah grup usaha sawit tersebut.
Sebelumnya, Hege mengirim pernyataan dari Menteri Lingkungan dan Pembangunan Internasional Norwegia Erik Solheim, yang menyebutkan komitmen mereka dalam mewujudkan masyarakat rendah emisi dengan mendorong program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD+) di Indonesia.
Terkait rencana moratorium hutan, Ketua Satuan Tugas REDD+ Kuntoro Mangkusubroto mengatakan, Instruksi Presiden tentang Moratorium Jeda Hutan masih belum ditandatangani karena adanya perbedaan substansi. Namun, Kuntoro tak mau merinci perbedaan. ”Yang jelas, masih ada yang harus dipersatukan (substansinya),” katanya.
Awalnya ada dua versi draf moratorium. Satu versi dibuat Satgas REDD+, sedangkan lainnya oleh Menteri Kehutanan melalui Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.
Sementara itu, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim Agus Purnomo menyatakan, rancangan inpres yang diajukan Satuan Tugas REDD+ telah diintegrasikan bersama dengan rancangan inpres yang diajukan Menko Perekonomian beserta menteri terkait lainnya.(AIK/HAR)