Seperti diberitakan Jumat (18/2), Borneo Orangutan Survival—salah satu organisasi konservasi—harus mengeluarkan miliaran rupiah untuk izin konsesi lahan 100.000 hektar di Muara Wahau, Kalimantan Timur.
”Aturannya memang begitu. Yayasan itu (Borneo Orangutan Survival/BOS) harus membayar kepada negara untuk area konsesi pelepasliaran,” kata Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Darori di Jakarta, Jumat.
Sebelumnya, Centre for Orangutan Protection (COP) meminta pemerintah turut menjaga kawasan pelepasliaran orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus). Alasannya, orangutan adalah aset negara.
Apalagi, BOS sudah membayar 1,5 juta dollar AS untuk area konsesi di Muara Wahau. Direktur COP Hardi Baktiantoro menilai kawasan Muara Wahau tak aman untuk pelepasliaran orangutan karena tingginya pembalakan hutan di sana.
COP juga mencatat kegagalan pelepasliaran orangutan oleh Sumatran Orangutan Conservation Project (SOCP) di areal sekitar Taman Nasional Bukit Tigapuluh di Jambi. Itu disebabkan lemahnya komitmen pemerintah terhadap perlindungan satwa.
”Kalau lokasi-lokasi itu dianggap kurang aman, kenapa tidak mencari tempat lain? Jangan salahkan pemerintah. Mereka sendiri yang menyurvei mencari lokasi. Mereka seharusnya bisa pilih area aman dari gangguan manusia dan mampu menyediakan makanan cukup buat orangutan,” kata Darori.
Menurut dia, dana dan tenaga pemerintah terbatas untuk mengamankan satwa liar yang akan dilepasliarkan. ”Yayasan- yayasan itu dapat banyak bantuan dana dari masyarakat Eropa atau Amerika untuk menyelamatkan orangutan. Kenapa mereka tidak sekalian membayar tenaga keamanan di area pelepasliaran itu? Tentu kami akan turut membantu,” katanya.
Sikap Kementerian Kehutanan (Kemhut) itu, menurut ahli kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Hariadi Kartodihardjo, menunjukkan kekeliruan berpikir. Menurut dia, Kemhut seharusnya tak hanya memikirkan cara mengeksploitasi hutan, tetapi harus turut menjaga hutan dan isinya, termasuk satwa liar.