KOMPAS.com - Menghangatnya suhu muka laut di Indonesia sejak April lalu mengakibatkan akumulasi energi di atmosfer wilayah ini. Anomali itu menimbulkan angin kencang dan hujan lebat disertai petir yang terpicu oleh bibit badai tropis di utara Australia. Ancaman ini berpotensi muncul hingga akhir Januari 2011.
Dalam kondisi normal, pemanasan matahari di perairan tropis akan menghasilkan uap air yang kemudian oleh sistem cuaca global berupa sirkulasi kolom udara Sirkulasi Hadley akan terdistribusi ke wilayah subtropis pada kawasan antara 30 dan 60 derajat Lintang Utara dan Selatan. Oleh Sirkulasi Ferrel selanjutnya diteruskan ke kawasan kutub masuk ke sirkulasi polar.
Mengikuti garis edar matahari itu yang bergerak naik turun ke utara-selatan khatulistiwa, terjadi ”sabuk hujan”. Pada Desember di belahan bumi utara mengalami musim dingin. Sedangkan Juni berlangsung musim panas. Kondisi sebaliknya terjadi di belahan bumi selatan.
Namun, kondisi yang terjadi sejak hampir setahun ini menyimpang dari pola normalnya. Menghangatnya suhu muka laut di hampir seluruh wilayah Indonesia—antara 2 dan 5 derajat celsius di atas normal—sejak April menyebabkan tidak terjadinya distribusi uap air.
”Akumulasi uap air terkonsentrasi di wilayah Indonesia saja. Sedangkan daerah di sekelilingnya kering,” ujar Edvin Aldrian, Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG).
Hal ini ditunjukkan oleh pantauan satelit cuaca pada beberapa hari terakhir. ”Tampak penumpukan awan hujan di Indonesia. Sedangkan di Australia dan Asia Timur nyaris tak berawan. Ini mengakibatkan kawasan tersebut mengalami kekeringan,” ujarnya.
Akumulasi energi ini tentunya menimbulkan dampak negatif juga bagi Indonesia, yaitu terjadinya musim hujan dengan curah hujan di atas normal. Gangguan cuaca ini kian besar hingga puncak hujan pada musim ini, yaitu Desember hingga Februari mendatang.
Ancaman itu muncul bersamaan dengan terjadinya badai tropis yang normalnya terbentuk pada bulan-bulan mendatang. ”Bibit badai sudah mulai terlihat sejak November lalu,” ujar Edvin yang juga peneliti iklim dan cuaca di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Meski baru berupa bibit badai, kondisi cuaca ini sudah cukup berpengaruh bagi Indonesia, yaitu timbulnya angin kencang disertai hujan lebat dan petir serta gelombang laut yang tinggi.
Mengapa demikian? Energi yang ”tersimpan” di atmosfer Nusantara ini terlepas meski dipicu gangguan cuaca yang kecil saja, yaitu berupa bibit badai, belum menjadi badai.