KOMPAS.com - Nama Bintaro yang satu ini tidak ada sangkut pautnya secara langsung dengan kompleks perumahan mewah yang berlokasi di selatan Jakarta. Namun di kompleks perumahan Bintaro banyak bintaro tumbuh di pekarangan rumah. Bintaro yang dimaksud adalah tanaman bernama latin Cerbera manghas. Pohon yang dapat tumbuh sampai ketinggian delapan meter ini memiliki nama-nama lain Mangga Laut, Babuto dan Bitun.
Di Jakarta, Bintaro cukup populer sebagai tanaman penghijauan kota. Daunnya rimbun, sangat cocok buat peneduh. Bunganya cantik, berwarna putih seperti melati dan dapat menutupi seluruh tajuknya. Ketika berbunga, dominasi hijau tertutupi warna putih bersih. Tidak heran, dengan kombinasi hijau- putih, Bintaro menjadi salah satu pohon pavorit penghijauan. Banyak yang sering melihat pohon ini, namun tidak tahu bahwa nama pohon itu bintaro.
Di tangan para peneliti dari Institut Pertanian Bogor, fungsi bintaro berkembang lagi menjadi penghasil minyak alternatif. Terobosan pakar-pakar teknologi pertanian Tanah Air itu menjadi terobosan baru di tengah-tengah kondisi harga minyak dunia yang membumbung tinggi.
Adalah Prof Budi Indra Setiawan, peneliti IPB - yang sebelumnya melakukan penelitian ekohidro di kawasan Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, Riau - , tertarik dengan buah yang berbentuk seperti mangga itu. Budi memang ditunjuk oleh Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan meneliti penataan ekosistem gambut di areal hutan tanaman industri PT Riau Andalan Pulp and Paper dan sekitarnya.
Rekomendasi dari tim Budi yang disebut Tim Pakai Independen membuat Menhut Zulkifli Hasan membuat keputusan, produsen bubur kertas dan kertas yang berbendera APRIL itu boleh melanjutkan aktivitas usaha di lokasi gambut seluas 40.000 hektar, walau sebelumnya sempat diributkan organisasi pencinta lingkungan Greenpeace ke seluruh dunia. Sayangnya, kelanjutan rekomendasi tim dan keputusan Menhut untuk membuat badan pengelola di kawasan terpadu gambut seluas 700 ribu hektar di Semenanjung Kampar sampai sekarang belum ada tindak lanjutnya .
Sebagai peneliti, saat melakukan survei di Kecamatan Teluk Meranti, Semenanjung Kampar, Budi cukup peka melihat sekeliling. Melihat pohon bintaro berbuah rindang seperti mangga bergelantungan di mana-mana di setiap rumah dan pelosok desa, alarm insting pelelitiannya langsung menyala.
"Banyak sekali pohon bintaro disana. Pohon itu begitu gampang tumbuh. Saya yakin pasti ada yang dapat dipergunakan dari pohon itu," ujar Budi saat ditemui Kompas.com disela-sela sosialisasi pengolahan biji bintaro sebagai energi alternatif di halaman Kantor Kecamatan Teluk Meranti (sekitar enam jam perjalanan dari kota Pekanbaru), hari Selasa (28/12/2010).
Budi membawa sejumlah buah bintaro ke kampus IPB di Bogor. Dia kemudian mengajak rekan-rekannya Dr Desrial, Dr Ika Amalia, Dr Y Aris Purwanto dan lain-lain meneliti pohon yang oleh masyarakat Teluk Meranti disebut buah Babuto. Menurut cerita penduduk lokal, nenek moyang mereka melarang anak-anak bermain buah bintaro karena getahnya dapat membuat mata menjadi buta. Babuto dalam bahasa lokal berupa singkatan dri mambuek mato menjadi buto (membuat mata menjadi buta).
Setengah tahun berlalu, tim IPB akhirnya berhasil meneliti bahwa babuto dapat menjadi salah satu alternatif energi pada masa depan. Dr Y Aris Purwanto mengatakan, bintaro cukup aman menjadi sumber energi. Bahkan hasil minyaknya lebih baik dari biji jarak. Asap dari minyak bintaro juga wangi. Satu kilogram min yak bintaro dapat diekstrak dari sekitar 25 kilogram biji.
Dari pengamatan Kompas.com pada saat demo, pengolahan biji bintaro menjadi minyak memerlukan kesabaran ekstra. Pertama, biji bintaro dikumpulkan dan dikeringkan. Biji yang baik berasal dari buah kering yang telah jatuh ke tanah atau yang sudah tua. Buah tua persis seperti mangga gedong yang berwarna merah hati keunguan, Buah kemudian di belah untuk mengeluarkan bijinya.