Padang, Kompas
Koordinator Divisi Pendidikan dan Budaya Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Tarida Hernawati, mengemukakan hal itu, Senin (29/11). ”Sejarah pembentukan sebagian besar dusun di Kabupaten Kepulauan Mentawai disebabkan oleh perpecahan di dusun sebelumnya,” ujarnya.
Sebagai contoh Tarida menyebutkan, tidak jarang jika dalam satu uma—yang misalnya terdiri dari sepuluh keluarga—ada dua keluarga yang tidak setuju dengan suatu hal tertentu, mereka cenderung akan memisahkan diri.
”Itulah salah satu sifat orang Mentawai yang paling mendasar. Mereka cenderung untuk menghindari konflik terbuka dan memilih menghindar,” kata Tarida menambahkan.
Uma atau rumah besar memanjang dengan arsitektur panggung yang ditempati beberapa keluarga dalam satu suku adalah inti kehidupan masyarakat tradisional Mentawai. Uma bisa juga merupakan permukiman.
Pemerintah saat ini sudah menetapkan sejumlah titik untuk lokasi pembangunan hunian sementara bagi korban tsunami. Menurut Kepala Dinas Prasarana Jalan Tata Ruang dan Permukiman Sumatera Barat Dody Ruswandi, pemerintah telah memastikan Kilometer 6 dan Kilometer 17 di Pulau Pagai Utara sebagai tempat pembangunan hunian sementara dengan 274 rumah.
Di Pulau Pagai Selatan juga akan dibangun hunian sementara di Kilometer 27, 37, 41, dan 44 sebanyak 516 unit. Sementara di Pulau Sipora akan dibangun 278 unit hunian sementara di Kilometer 4 dari Dermaga Sikicip, Kecamatan Sipora Selatan.
Terkait penanganan korban bencana tsunami Mentawai, penasihat Yayasan Citra Mandiri Mentawai, Rachmadi, kemarin, mengingatkan adanya sejumlah program yang kurang tepat. ”Seperti anak-anak yang diberi boneka. Untuk apa? Anak-anak di Mentawai sebagian besar tidak tahu harus berbuat apa dengan boneka. Justru yang dibutuhkan adalah parang,” katanya, seraya menunjukkan sejumlah foto bocah Mentawai yang bermain-main dengan parang di kebun.