Azyumardi Azra
Setiap kali kedatangan hari raya Idul Adha 1431 Hijriah, perhatian kita banyak tertuju kepada jemaah haji yang sedang melaksanakan sejumlah ibadah pokok ibadah haji di Mekkah.
Idul Adha tidak terpisahkan dengan ibadah haji karena itu ia juga sering disebut ”Idul Haj”. Idul Adha dikenal pula ”Idul Kurban”—momen saat kaum Muslimin melaksanakan ibadah kurban dengan menyembelih hewan sembelihan.
Idul Adha di Indonesia memang tidak dirayakan semeriah Idul Fitri. Tetapi, juga jelas, Idul Adha atau Idul Kurban mengandung banyak nilai, makna, dan semangat penting bagi kehidupan pribadi dan sosial yang tetap relevan dan perlu peneguhan dalam kehidupan berbangsa.
Spiritual dan keakraban
Ibadah haji dan ibadah kurban mengandung makna hampir sama—peningkatan semangat mengorbankan sebagian harta yang dimiliki untuk kepentingan ilahiah dan kemanusiaan. Penunaian ibadah haji memerlukan kemampuan (istitha’ah) finansial tidak sedikit untuk biaya perjalanan dan keluarga yang ditinggalkan, di samping kemampuan jasmani dan rohani.
Seseorang pada dasarnya tidak disarankan pergi ke Tanah Suci jika hanya mampu membayar ongkos naik haji, tetapi meninggalkan keluarganya terlunta-lunta. Pertimbangan terjaminnya kehidupan keluarga menjadi sangat penting sebelum seorang Muslim menunaikan ibadah haji.
Pertimbangan ini kian luas ketika untuk pergi haji kaum Muslimin Indonesia kini harus masuk daftar tunggu empat sampai tujuh tahun karena jumlah mereka yang ingin memenuhi panggilan Nabi Ibrahim terus meningkat setiap tahun. Karena itu, mereka yang sudah haji sebaiknya ”mengalah” tidak lagi pergi haji, dan memberi kesempatan kepada mereka yang belum pernah.
Ibadah haji dan kurban memiliki distingsi khusus dibandingkan dengan ibadah-ibadah lain karena sekaligus menyangkut hubungan dengan Tuhan (habl min Allah) dan hubungan sesama manusia (habl min al-nas). Penting ditekankan, hubungan manusia dengan Tuhan tak dapat mencapai kesempurnaan jika tidak disertai hubungan baik dengan sesama manusia.
Kedua ibadah ini merupakan ibadah khas untuk mendaki ”kenaikan spiritual”—mencapai posisi (maqam) lebih tinggi. Setiap mereka yang menunaikan ibadah haji pasti ingin mencapai derajat haji mabrur, yaitu ibadah haji yang penuh kesempurnaan dan kebajikan. Derajat haji mabrur seyogianya tecermin pula dalam berbagai kebajikan kemanusiaan ketika kembali ke tempat masing-masing.
Ibadah kurban, sesuai dengan kandungan makna qurban, juga bertujuan membuat seseorang lebih qarib, dekat dengan Tuhan, sekaligus dengan manusia lain. Hewan sembelihan kurban mendekatkan hubungan dan ikatan batin mereka yang berharta dengan orang-orang tak berpunya, yang mungkin makan daging hanya sekali setahun ketika diberi daging kurban.
Bencana dan solidaritas
Ibadah haji dan ibadah kurban dengan penekanan kuat terhadap pengorbanan untuk solidaritas kemanusiaan senantiasa relevan dalam kehidupan. Oleh karena itu, aktualisasi semangat, nilai dan keutamaan berkurban seyogianya tidak terbatas pada Idul Adha dan Idul Kurban; mesti terus diteguhkan dari waktu ke waktu. Peneguhan semangat berkurban jelas sangat mendesak, ketika rangkaian bencana melanda Tanah Air, mulai dari banjir bandang di Wasior (Papua), tsunami di Mentawai, erupsi Gunung Merapi, dan musibah-musibah lain.