Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Lapisan Es Catat Sejarah Perubahan Iklim

Kompas.com - 18/05/2010, 20:51 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Lapisan es abadi di Puncak Jaya Papua dapat mengungkap sejarah perubahan iklim Indonesia dan sekitarnya. Sepanjang apakah sejarah perubahan iklim yang terekam, hal itu tergantung dari ketebalan lapisan es abadi.

"Kalau di Gunung Kilimanjaro, tebalnya 50 meter bisa mencatat sejarah 11.000 tahun yang lalu. Ketebalan es-nya tergantung kecepatan siklus air," ujar peneliti Universitas Colombia, Dwi Susanto, saat jumpa pers di Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Selasa (18/5/2010) di Jakarta.

Sejumlah informasi terkait perubahan iklim, seperti curah hujan, temperatur, unsur kimia dalam udara, atau unsur karbondioksida dapat terdeteksi melalui analisis isotop unsur-unsur yang terkandung dalam es (hidrogen dan oksigen). Selain melalui lapisan es, kata Dwi, sejarah perubahan iklim juga dapat dideteksi melalui lapisan batuan sedimen dan lingkaran tahun pada kayu.

Lapisan batuan sedimen, menurut Dwi, dapat menyimpan sejarah perubahan iklim dari jutaan tahun yang lalu. "Bedanya kalau es itu ribuan tahun, sedimen jutaan tahun," ujarnya.

Sebelumnya, BMKG meresmikan kerja sama peneliti BMKG dengan peneliti Universitas Ohio dan Universitas Colombia dalam mengkaji lapisan es Puncak Jaya. Ekspedisi dan penelitian tersebut dibantu PT Freeport Indonesia dalam menyediakan peralatan pengeboran es dan personel bantuan.

"Tantangannya selain mencapai puncak Jaya, juga bagaimana es itu tidak mencair," kata Dwi. Agar tetap membeku, inti es abadi yang diambil dari puncak Jaya akan disimpan di dalam ruang cold storage freezer yang berisi dua kompartemen dengan suhu ruangan -30 derajat celsius.

"Es yang kami ambil tidak dianalisis semuanya. Sebagian disimpan karena kami yakin nantinya ada teknologi lebih baru yang akurasinya lebih," tambah Dwi.

Mengenai biaya penelitian es abadi tersebut, Kepala BMKG Sri Woro Harijono dalam kesempatan yang sama menyampaikan bahwa biaya untuk berangkat ke Puncak Jaya ditanggung tiap-tiap negara. Hanya, menurut Dwi, para peneliti mengeluarkan dana sekitar 5 juta dollar AS untuk biaya alat penelitiannya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com