Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Terprovokasi Negara Emiter demi Kepentingan Dana

Kompas.com - 20/01/2010, 07:16 WIB
 

JAKARTA, KOMPAS.com Tudingan kebohongan terhadap publik dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat terhadap Delegasi RI untuk Konferensi Perubahan Iklim PBB di Kopenhagen, Denmark, berbalik arah. Ini sekaligus menunjukkan akses komunikasi dan akurasi data yang masih tersendat.

”Justru berbagai pernyataan lembaga swadaya masyarakat yang disampaikan kepada pimpinan DPR itu yang mengandung kebohongan,” kata Sekretaris Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) Agus Purnomo yang mewakili Delegasi RI, Selasa (19/1/2010) di Jakarta.

Skema utang luar negeri yang ditudingkan didapat dari konferensi Kopenhagen dikatakan Agus, 100 persen salah. Yang benar, terdapat pendanaan multilateral yang disebut Copenhagen Green Fund sebesar 30 miliar dollar AS.

Dana itu berasal dari negara-negara maju untuk menunjang kegiatan mitigasi perubahan iklim di sejumlah negara berkembang, termasuk Indonesia. Besarnya dana yang bisa diperoleh Indonesia belum ditentukan, bukan 10 miliar dollar AS seperti ditudingkan beberapa LSM.

Juga mengenai komitmen reduksi emisi 26 persen, menurut Agus, tidak bisa dikaitkan dengan penolakan komitmen moratorium atau melindungi hutan alam tersisa dalam perundingan Land Use Land Use Change and Forestry (LULUCF) sebagai salah satu komponen negosiasi.

Menurut Agus, Delegasi RI menolak kebijakan moratorium hutan alam tersisa dengan alasan untuk kepentingan pembangunan. Hal itu belum memungkinkan diterapkan di Indonesia.

Dua hal lagi yang ditudingkan sebagai kebohongan terhadap publik yang dilakukan Delegasi RI adalah tidak disinggungnya substansi kelautan dan kepulauan dalam pidato Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada konferensi itu. Kemudian tudingan bahwa tidak sepantasnya Delegasi RI turut menandatangani kesepakatan minimalis Copenhagen Accord.

Agus menjelaskan, substansi kelautan tak dimasukkan ke dalam pidato Presiden karena tidak semua aspirasi (kelautan) bisa dimasukkan ke dalam agenda konferensi. Kemudian masalah penandatanganan Copenhagen Accord oleh 26 negara, yang disusul 3 negara lain dari 192 negara yang hadir, itu sebagai upaya tidak digagalkannya konferensi. ”Tidak ada pembohongan publik di sini,” kata Agus.

Terprovokasi

Salah satu perwakilan LSM yang menuding pembohongan publik Delegasi RI, Ketua Institut Hijau Indonesia Chalid Muhammad, mengatakan, Indonesia telah terprovokasi negara-negara industri atau maju demi kepentingan dana.

Semestinya, Indonesia bergabung dengan negara berkembang (negara selatan) dan negara-negara pulau kecil untuk tetap memperjuangkan tuntutan peningkatan reduksi emisi negara maju sebesar 40 persen dari level emisi tahun 1990 pada 2020.

Sebelumnya, negara-negara maju yang tergabung dalam Annex-1 sesuai Protokol Kyoto dikenai kewajiban menurunkan emisi sekitar 5 persen dari level 1990 pada tahun 2020. ”Surat tudingan kebohongan terhadap publik itu juga untuk menyatakan, selama ini tidak pernah ada penyampaian esensi yang ingin dicapai Indonesia, baik sebelum atau sesudah konferensi perubahan iklim global kepada publik,” kata Chalid.

Komitmen reduksi emisi 26 persen, menurut Chalid, juga sama sekali tidak diketahui latar belakang dan usaha apa saja untuk mencapainya. Menurut Agus, saat ini ditetapkan target 26 persen emisi itu dari perkiraan emisi 2020 sebesar 2,95 gigaton karbon dioksida ekuivalen. (NAW)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com