JAKARTA, KOMPAS.com -
Selain itu, Indonesia dalam forum internasional pada masa mendatang harus bersikap lebih aktif bersama dengan negara berkembang lainnya.
Demikian, antara lain, rangkuman wawancara yang dilakukan Kompas dengan Ketua Umum Serikat Petani Indonesia yang juga Koordinator Umum La Via Campesina, Henry Saragih, dan Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan Riza Damanik di Jakarta, Minggu (20/12/2009).
Sementara itu, Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim Agus Purnomo menegaskan, Indonesia telah bertekad tidak lagi melakukan konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Selain itu, dalam kesepakatan sejumlah program kerja sama yang memuat prinsip pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV), hal itu tetap dilakukan berdasarkan kesepakatan negara bersangkutan.
Persetujuan Kopenhagen yang dihasilkan di Kopenhagen, Sabtu lalu, oleh mereka disebut, antara lain, sebagai solusi yang menyesatkan (false solution) bagi ancaman perubahan iklim global, juga menjadi instrumen yang memperkuat kendali dan posisi negara-negara industri untuk memperdaya negara-negara berkembang dan kepulauan seperti Indonesia.
Dalam Persetujuan Kopenhagen tidak termuat komitmen negara-negara industri untuk mengurangi emisinya dalam jumlah besar, melainkan hanya ada kesepakatan untuk menjaga agar kenaikan rata-rata suhu Bumi tidak melebihi 2 derajat celsius dibandingkan dengan era revolusi industri (sekitar 250 tahun lalu).
Namun, di sana lahir sejumlah kesepakatan dalam Kelompok Kerja Ad Hoc Kerja Sama Jangka Panjang (AWG-LCA) yang di antaranya merupakan aksi sukarela negara berkembang terkait upaya mengurangi emisi gas rumah kacanya.
Di antaranya adalah skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) dari negara-negara pemilik hutan yang tergabung dalam Forest-11 (F-11) dengan Indonesia sebagai inisiator. Selain itu, juga kebijakan beralih ke agrofuel guna mengurangi penggunaan bahan bakar fosil dan penghilangan penggunaan pestisida yang digantikan dengan rekayasa genetik organisme (genetically modified organism/GMO).
Henry menegaskan, untuk agrofuel, misalnya, Indonesia akan memperluas perkebunan kelapa sawit yang kini luasnya 7 juta hektar menjadi 19 juta hektar. ”Jika ini dilakukan, justru akan memperparah pemanasan global,” ujarnya.
Perkebunan kelapa sawit dinilai amat rakus air sehingga akan mengakibatkan penggurunan, sementara perubahan fungsi lahan akan melepaskan emisi karbon dalam jumlah besar.