Jakarta, Kompas
Ikan itu ditemukan pada satu jam pertama pada hari pertama penelitian menggunakan wahana bawah laut tanpa awak (remotely operated vehicle/ROV).
”Temuan itu benar-benar mengejutkan kami,” kata Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Prof Alex Masengi ketika dihubungi Senin malam. ”Ikan dalam keadaan hidup dan tetap bebas di habitatnya,” kata Alex.
Kelompok peneliti yang sama, pada 27 Juni 2007 menemukan ikan coelacanth di perairan Malalayang, Teluk Manado, Sulawesi Utara, di kedalaman 190 meter. Lokasi penemuan di Talise itu sekitar 120 kilometer utara lokasi penemuan pertama.
Habitat ikan coelacanth berada di kedalaman lebih dari 180 meter dengan suhu maksimal 18 derajat celsius. Habitatnya berada di relung-relung goa vulkanik bawah laut.
Ikan coelacanth hanya hidup di perairan barat Afrika Selatan (Latimeria chalumnae) dan kawasan timur Indonesia (Latimeria menadoensis). Identifikasi spesies baru dari Manado pada 1999 mengejutkan dunia karena sejak 1940 atau 59 tahun sebelumnya, dunia hanya mengenal satu spesies coelacanth, yaitu dari barat Madagaskar.
Ikan coelacanth digolongkan sebagai ikan purba dan fosil hidup karena diduga sudah ada sejak era Devonian—sekitar 380 juta tahun silam. Hingga kini bentuknya tak berubah.
Keunikannya antara lain satu sirip punggung menjulur seperti tungkai layaknya tangan manusia. Bagian lain adalah sepasang sirip dada, sirip perut, dan satu sirip anal (belakang bawah).
Para ahli sepakat, banyak keunikan coelacanth yang belum terungkap. Banyak ahli ikan dunia berlomba meneliti dan mengoleksi ikan itu, termasuk Jepang yang bertahun-tahun meneliti di Afrika dan Indonesia. Jepang tertarik mengoleksi coelacanth awetan basah yang saat ini disimpan di Museum Zoologi LIPI di Cibinong, Jawa Barat.