Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perubahan Iklim dan Lingkungan Pengaruhi Migrasi

Kompas.com - 04/03/2009, 21:40 WIB

BANDUNG, RABU - Perubahan iklim dan lingkungan di Indonesia berpotensi menganggu proses migrasi burung. Akibatnya, banyak burung tersesat atau terancam mati akibat pencemaran pestisida. Padahal, peran migrasi berperan besar dalam berbagai aktivitas masyarakat.

Menurut ornitolog atau pakar burung Universitas Padjadjaran Bandung, Johan Iskandar, Rabu (4/3) perubahan iklim dan lingkungan sangat berbahaya. Banyak lahan yang dulunya hutan berganti pemukiman atau ladang dan sawah.

Ia mencontohkan, rute migrasi di Jabar yaitu kawasan Bogor, Puncak , dan Cianjur. Perubahan tata lingkungan membuat banyak masyarakat membuka lahan pertanian dan memakai pestisida sebagai komponen utama penggarapannya.

Hal itu, menurut Johan, berakibat fatal. Alasannya, banyaknya burung migrasi yang tumbuh cacat atau mati akibat memangsa hewan yang sudah teracuni pestisida. Contohnya, jenis burung buas seperti elang (Famili Acciptri dae) dan alap-alap (Famili Falconidae).

Perubahan lingkungan dan iklim juga menyebabkan rute migrasi tidak jelas. Meng hangatnya daerah yang semula dingin membuat burung kebingungan menetapkan pola migrasi. Akibatnya, burung tersesat dan tidak dapat menyelesaikan migrasi.

Johan sangat menyanyangkan hal ini. Alasannya, pola migrasi ini sangat berguna bagi manusia, diantaranya nelayan, petani, atau peladang. C ontohnya, bagi petani Jawa Barat, kedatangan burung Kapinis atau Layang-layang Asia (Hirundo rustica) yang menandakan adanya musim hujan atau awal musim tanam.

Selain itu munculnya burung Kangkangot (Cuculus micropterus) dipercaya sebagai pertanda musim padi ladang bagi masyarakat Baduy.

Sedangkan nelayan menggunakan tanda munculnya burung Brekek (Tringa totanus) dan Terik Laut (Charadius mongolus) pertanda musim barat, musim yang tepat mencari ikan.

Hal yang sama juga terjadi pada katak. Menurut Djoko Tjahjono Iskandar, peneliti katak atau Herpetolog ITB, kehidupan katak sangat erat dengan lingkungan sekitarnya. Bila berubah, katak seringkali mati atau cacat. Bahkan, bukan tidak mungkin, akan ada banyak katak yang punah. Ia mencontohkan Katak Berkepala Pipih (Barbourula kalimantanensis).  

Katak yang tidak memiliki paru-paru ini bernafas dengan kulit karena disinyalir hidup di air yang kaya oksigen. Bila hutan di sekitar tempat tinggalnya dirusak maka oksigen yang tersedia pun kemungkinan akan berkurang. Akibatnya, kemampuan hidup menggunakan kulit itu tidak akan berpengaruh menyelamatkan kehidupannya.

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Video Pilihan Video Lainnya >

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com