BANDUNG, RABU- Produsen pupuk Jawa Barat mendesak pemerintah mencabut subsidi untuk menyelesaikan persoalan penyelewengan distribusi yang hingga kini selalu terjadi. Tata niaga pupuk sebaiknya diserahkan pada mekanisme pasar, sehingga harga pupuk dari para produsen dengan berbagai skala produksi bisa bersaing lebih kompetitif.
"Disparitas harga yang sangat jauh akan selalu memancing penyelewengan dari distributor, atau bahkan petani. Ini tidak dapat dicegah, karena tuntutan ekonomi. Namun, kalau persaingan dibuka, harga akan tergantung mekanisme pasar," ungkap Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Kecil Menengah Indonesia (APPKMI), Sonson Garsoni di Bandung, Rabu (4/3).
Menurut dia, pola subsidi yang diterapkan pemerintah tidak mendidik dan justru memberi peluang oknum tidak bertanggung jawab, sehingga produk yang disubsidi menjadi langka, seperti halnya minyak tanah. Dana untuk subsidi pupuk, kata Sonson, sebaiknya diberikan melalui mekanisme lain, seperti peningkatan infrastruktur pertanian baik on farm maupun off farm hingga ke penyediaan pasar yang mampu menjamin harga komoditas petani.
Akhir Februari lalu, pemerintah berencana menaikkan Harga Eceran Tertinggi (HET) pupuk bersubsidi untuk memperkecil disparitas harga yang mendorong terjadinya penyimpangan distribusi.
Saat ini, HET pupuk bersubsidi jenis Urea dipatok Rp 1.200 per kilogram (kg), Superphos Rp 1.550 per kg, ZA Rp 1.050 per kg, NPK Rp 1.586-Rp 1.830 per kg dan pupuk organik Rp 500 per kg. Sementara harga pupuk nonsubsidi mencapai Rp 7.000 per kg.
Sonson melanjutkan, dampak negatif lain dari subsidi pupuk yaitu, petani menjadi lebih boros dalam penggunaan pupuk. Dia mencontohkan petani tanaman padi menggunakan urea hingga 500 kg per hektar, padahal rekomendasi dari Departemen Pertanian hanya sebanyak 250 kg per hektar.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.