TENTENA, SENIN — Para nelayan di Tentena, kota wisata di tepian Danau Poso, Sulawesi Tengah, mulai memasuki masa panen ikan sidat atau belut. Penduduk lokal menyebutnya sogili.
"Musim sogili di sini biasanya mulai Desember sampai Juni, namun tahun ini musim rupanya bergeser dan baru mulai ramai Februari 2009," kata T. Tampai, seorang nelayan sogili saat ditemui di Tentena, ibu kota Kecamatan Pamona Utara, sekitar 56 kilometer selatan Kota Poso, Senin (2/3).
Menurut dia, musim panen sogili diperkirakan mencapai puncak pada Mei. Saat ini sebenarnya baru awal-awal panen saja. "Hasilnya belum begitu ramai, paling banyak 10 kilogram sampai 12 kilogram atau sekitar empat ekor per orang tiap hari. Pada puncak musim, satu hari bisa dapat 20 sampai 25 kilogram per hari," ujarnya.
Ikan sogili hidup dengan berat di atas dua kilogram per ekor dijual kepada pengumpul untuk diekspor dalam bentuk sogili segar dengan harga Rp 75.000 per kilogram. Sedangkan yang sudah mati atau yang beratnya di bawah dua kilogram per ekor dijual ke masyarakat lokal atau pengusaha restoran/warung makan Rp 45.000 per kilogram. "Nelayan sogili Tentena tahun ini sangat diuntungkan karena dalam musim panen saat ini, harga jualnya cukup menarik mencapai Rp 75.000 per kilogram," kata Kaverius, nelayan sogili lainnya.
"Kami tidak pernah kesulitan menjual sogili baik yang hidup maupun mati karena pasarnya banyak. Pengumpul sogili hidup membeli berapa pun yang dihasilkan nelayan dengan harga cukup tinggi, sebab sogili hidup kini menjadi komoditas ekspor yang dikirim melalui Makassar," kata Kaverius menambahkan.
Penangkapan ikan sidat di Danau Poso dilakukan dengan membuat pagar perangkap di mulut sungai berbentuk piramida yang terbuat dari kayu dan bambu. Di ujung piramida itu dipasang bubu (wuwu) atau pukat untuk menampung sogili yang terperangkap. Saat sogili keluar dari Danau Poso dan mulai masuk ke mulut sungai, ikan belut itu akan tergiring masuk ke bubu atau pukat.
"Jadi pada subuh hari kita tinggal mengangkat pukat atau bubunya untuk mengambil ikan belut itu," ujarnya.
Setiap pagar perangkap diusahakan oleh delapan sampai sepuluh orang nelayan dengan pembagian hasil dilakukan secara bergiliran setiap hari, misalnya si ’A’ yang mendapat giliran hari Senin, seluruh hasilnya pada Senin itu milik ’A’ demikian selanjutnya. "Ini sudah tradisi yang turun temurun di sini sejak tahun 1950-an," kata Tampa’i (83) yang tampak masih kuat dan tetap menekuni usaha menangkap belut tersebut.
Sementara itu, Joni, eksportir sogili di Tentena, mengatakan, pada musim sogili bulan Februari sampai Juni, ia bisa mengekspor 400 kilogram setiap minggu dengan tujuan Taiwan dan China melalui Jakarta. Ikan sogili di dua negara tersebut sangat diminati untuk bahan pencampur sup sehingga pembeli tidak pernah membatasi jumlah untuk dikirim dalam keadaan hidup.